![]() |
Aksi penolakan proyek pembangunan tol Serpong – Cinere oleh aktivis lingkungan Gugusan Alam Nalar Ekosistem Pemuda-Pemudi (GANESPA), di Setu Sasak Tinggi Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. |
Gaidofoundation.org – Sejak kapan alam, khususnya bumi yang kita diami ini mengalami kerusakan? Jawabnya tegas, sejak manusia berada di bumi, sejak manusia “dipercaya” Allah sebagai khalifah (mandataris-Nya) di muka bumi.
Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 30 disebutkan: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Ayat tersebut memberikan isyarat bahwa manusia memang makhluk yang sering membuat kerusakan di muka bumi. Bahkan di antara mereka meski dikaruniai akal, hati, dan nafs tetap saja saling bunuh hingga detik ini.
Kisah pembunuhan sesama manusia telah ada sejak zaman putra Adam Hawa, yaitu Qabil dan Habil yang dikisahkan oleh QS: Al Maidah: 27 31. Artinya, fakta bahwa manusia memiliki potensi pembuat kerusakan di muka bumi sudah ditegaskan dalam Alquran.
Lalu apa hubungannya dengan momentum Ramadan kali ini?
Harus diketahui, perilaku manusia yang membuat kerusakan tidak dapat dilepaskan dari desain jiwa manusia sejak awal, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al Syams: 8, yaitu: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Dengan potensi kefasikan (fujur) dan kebaikan (takwa) secara bersamaan, manusia berada pada posisi untuk melakukan dua hal, yaitu kerusakan atau kebaikan (kemakmuran).
Kebaikan (ketakwaan) didorong oleh potensi akal, hati, dan juga ruh. Sedangkan kemaksiatan (kerusakan) didorong oleh potensi nafs al (jiwa rendah) yang selalu mengarah pada kesenangan dan kegelapan.
Dalam diri manusia selalu berdinamika untuk saling berebut pengaruh antara dua kutub tersebut, sehingga kita perlu mengendalikannya agar jiwa ini tidak berbuat kerusakan di muka bumi.
Selain uraian tentang watak dasar manusia yang dikisahkan dalam peristiwa Qabil dan Habil, sejarah modern manusia juga membuktikan bahwa sejak revolusi industri abad 17 hingga saat ini kerusakan alam semakin dahsyat, seperti kerusakan ozon, hutan gundul, pencemaran lautan, dan lain lain.
Betapa tidak, penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan tekonologi di Barat telah tercerabut dari nilai nilai ketuhanan, sehingga dalam pengelolaan alam ini semata mata hanya untuk kepentingan duniawi dengan eksploitasi tanpa jiwa.
Semakin meningkatnya eskalasi kerusakan alam diakibatkan dari sudut pandang manusia yang anthroposentris, memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta. Sehingga alam dipandang sebagai objek yang dapat dieksploitasi hanya untuk memuaskan keinginan manusia.
Hal ini telah disinggung oleh Allah dalam Alquran surah Ar Ruum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Oleh karena itu, integritas dan komitmen terhadap lingkungan harus terus dibangun agar memiliki tanggung jawab untuk berperilaku baik dalam menjalani kehidupan bersama alam sekitarnya.
Dalam konteks inilah, bulan Ramadan sebagai bulan penggemblengan jiwa, baik melalui puasa, shalat, baca Alquran, sedekah dan lain lain dapat dijadikan momentum untuk membangun kesadaran akan pentingnya melestarikan lingkungan.
Apalagi di puncak Ramadan diwajibkan bagi umat Islam agar mengeluarkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat sebagai bentuk kepedulian lingkungan, khususnya kepada sesama. Wallahu a’lam. (Tribun)